PorosSumsel, – Kata “efisiensi anggaran” kini terdengar nyaris setiap hari. Disampaikan dengan nada serius, kalimat ini seolah menjadi jawaban paling logis atas segala keterbatasan.
Namun bagi banyak warga, frasa itu tak lagi bermakna hemat atau bijak, ia telah berubah menjadi tameng yang menolak harapan.
Setiap kali ada keluhan soal pembangunan yang tak kunjung datang, bantuan usaha yang dibatalkan, atau kegiatan masyarakat yang mendadak dihentikan, jawabannya selalu sama: “anggaran sedang diefisiensikan ”. Tidak ada rincian, tidak ada transparansi. Hanya kalimat pendek yang terdengar sopan, tapi menyakitkan: “tidak ada anggaran.”
Ironisnya, saat program-program yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat dipangkas atas nama efisiensi, kegiatan seremonial dan perjalanan dinas tetap berjalan lancar.
Bahkan plakat-plakat penghargaan atas “keberhasilan pengelolaan keuangan” masih terus dibagikan.
Di mata masyarakat, efisiensi sudah tak lagi menjadi solusi. Ia menjadi dalih untuk diam, menunda, bahkan menghindari tanggung jawab.
Yang dikorbankan bukan sekadar angka dalam laporan keuangan, tapi kesempatan membangun, dan masa depan mereka yang paling membutuhkan.
Efisiensi bukanlah musuh. Tapi jika terus dijadikan alasan untuk tak bergerak, maka sesungguhnya yang sedang dihemat bukan anggaran melainkan keberanian untuk berpihak kepada rakyat. (®)
Discussion about this post